Selasa, 11 Maret 2008

Khilaf....

Sudah lama tak menangis, dan aku menangis hari ini......
Seseorang harus kumaafkan karena kakhilafannya. Bukan sekarang, tapi selama ini. Dia khilaf menjadikanku teman begitu lama.
Dan aku mesti minta maaf atas kekhilafanku, bahwa aku pernah menganggap diriku pantas menjadi temannya.......

Aku mengizinkan diriku menagis hari ini.......

Kamis, 21 Februari 2008

Terlalu Banyak

Seorang teman pernah menceritakan tentang kisah dua ekor burung. Alkisah, ada dua ekor burung yang ditangkap oleh seorang pemburu. Keduanya ditempatkan di sangkar yang indah, dan diberi makan yang enak-enak. Burung pertama menikmati semua fasilitas, makan sekenyangnya setiap hari. Burung kedua makan seperlunya. Sisa makanannya pun dihabiskan temannya.

Suatu hari, si pemburu lupa mengunci sangkarnya setelah memberi makan kedua burungnya. Ini adalah kesempatan emas untuk melarikan diri! Burung pertama berjuang keras untuk terbang. Namun rupanya sayap yang terkepak tak mampu mengangkat badannya yang kini begitu gendut. Burung kedua tersenyum riang, dengan tubuhnnya yang ramping, dikepakkannya sayapnya, dan dikatakannya kepada sahabatnya :" Selamat tinggal, Teman! Lain kali, jangan mengambil terlalu banyak...!"

Entah mengapa, kini aku merasa nasehat ini ditujukan untukku. Jangan mengambil terlalu banyak. Bisa hutang budi, bisa materi, bisa apa pun. Mengambil terlalu banyak akan menghalangi kita untuk 'terbang', jika tiba saatnya kita harus terbang. Terutama jika kau lebih mencintai petualangan daripada kemapanan. Tambahan fasilitas biasanya berbanding lurus dengan tambahan tuntutan, bukan?

Ambil secukupnya, demi menjaga aerodinamitas jiwa. Maka kau akan siap untuk terbang, jika saatnya tiba.....

Jangan ambil banyak-banyak, termasuk makan :D
Maka kau terjaga dari kegendutan, haha...........!!!

(nasehat berharga untuk diriku sendiri)

Selasa, 12 Februari 2008

Menjadi Teman

Pernah kehilangan teman? Bagaimana rasanya?
Saat ini aku sedang merasa sangat kehilangan. Seorang teman yang melewati banyak hal bersamaku, kini rasanya jauh banget. Padahal dia adalah tempat paling nyaman untuk bicara, mulai dari urusan kerjaan sampai komik. Tempat paling nyaman untuk ngomongin masalah keuangan sampai utang (haha..), untuk saling menghina dan belajar narsis. Kepada siapa aku nggak malu ketawa ngakak.....

Kami tidak saling mendiamkan, malah berpura-pura segalanya baik baik saja. Tapi ini samasekali bukan baik-baik saja. Kalau ketemu, menyapa sedetik kemudian berlalu. Tersenyum sekilas lalu sok sibuk. Berada seruangan denganku seperti bencana besar yang harus dihindari. Menanyakan kabar, kadang. Tapi basi. Seperti bukan pertemanan yang biasanya. Biasanya, hal paling nggak pentingpun jadi seru, tanpa rekayasa. Sekarang, untuk yang pentingpun menyusun katakata dengan hati-hati sekali. Bukankah teman seharusnya tempat yang nyaman untuk menjadi spontan? Tak perlu berpikir apa-apa untuk bicara dengan teman, tak perlu pakai pendahuluan "aku mau ngomong..."

Aku salah, mungkin. Ada sesuatu yang membuatku bisa dianggap tidak profesional dalam berteman. Tapi kalaupun itu benar, maka itu adalah hal terakhir yang akan kami bahas, kalaupun aku tahu besok dunia akan berakhir. Dan aku malah bisa menuliskan dengan persis, apa yang akan dikatakannya kalau aku mencoba membahas tentang betapa anehnya pertemanan ini : "Memangnya ada apa? Apa yang aneh? Biasa aja kok..." Meminta maaf pun pasti akan mendapat jawaban yang lebih kurang serupa. Membuatku justru menjadi semakin merasa berdosa. Akibatnya? Berpura-pura lagi.......

Aku punya banyak teman, semua dengan sifat yang berbeda. Aku jarang konflik, tapi biasanya bisa menyelesaikan konflik dengan baik. Yang ini konfliknya bisa dibilang nggak ada, atau ada tapi nggak kelihatan. Rasanya seperti sisa makanan di sela gigi yang sulit diambil. Mengganggu sekali...........

Untuk temanku, you're still my friend, deep inside my heart.
I'm sorry........


Sabtu, 09 Februari 2008

Bertepuk Sebelah Tangan

Pulang, meninggalkan pelatihan outbond yang artinya nggak lulus dan gagal dapat sertifikat. Tapi siapa peduli? Nenekku tercinta wafat, setelah 3 pekan berjuang di ICU. Aku begitu mendambakan pulang untuk sekedar menjenguknya di Rumah Sakit, hingga aku tahu bahwa aku terlambat.

Maka, di waktuku yang cuma 3 hari ini aku pulang. Bukan untuk ikut mengurus tahlilan nenekku, tapi mendatangi nenek yang satu lagi. (Yang wafat adalah ibunda ayahku, sedang ibunda ibuku masih terbaring stroke). Aku takut tak sempat lagi, dengan jarak kotaku dengan kampung halaman yang 10 jam perjalanan, dan libur yang begitu mahal.

Sungguh aku tidak menyesal memutuskan pulang. Adalah momen berharga menyaksikan episode cinta melimpahruah seorang ibu kepada putrinya. Bulik, adik perempuan ibuku entah karena alasan apa memutuskan untuk menghilang 12 tahun lamanya. Bukan hilang sebenarnya, karena kami tahu dia di mana, tapi menolak pulang dan tak ingin berjumpa siapapun. Saat nenek terbaring sakit memendam kerinduan, semua orang merayunya untuk sesaat saja menjenguk ibundanya.

Maha Suci Allah yang membolak-balikkan hati, beliau pulang! Lengkap dengan anak-anaknya. Adikku yang dulu masih kelas 3 SD saat terakhir aku bertengkar dengannya, kini sudah semester 8, nyaris skripsi. Maka momen berurai airmata pun dimulailah. Bulik ingin sesaat merawat nenek sendiri, menunggui hingga mengganti diapersnya. Cinta yang bertahun lamanya serasa bertepuk sebelah tangan pun menemukan muaranya.....

Tapi nenek masih bertepuk sebelah tangan, dalam arti sebenarnya. Organ tubuhnya sebelah kiri masih sulit digerakkan. Aku bersama adikku mengajak beliau berlatih tepuk tangan. Hasilnya, hanya tangan kanan yang berulang-ulang menepuki tangan kiri. Itupun, jemari tangan kiri masih terlalu kaku untuk membuka-menutup secara otomatis.

Lalu belajar menghitung dengan jari. Nenek cuma bisa menunjukkan 4 dan 5, pelan-pelan. Untuk menekuk jari membentuk angka 3, 2 dan 1 masih luarbiasa sulit. Lucu, penuh canda, kami tertawa-tawa, tapi toh airmata tak berhenti mengalir juga.

Tak lama, tapi lebih dari cukup untuk belajar banyak mengenai cinta dan makna sebuah keluarga......
I Love You, Granny..............^_^

Senin, 04 Februari 2008

Quantum Ikhlas

Ini judul buku yang baru selesai kubaca. Yang ini bukan kebetulan, memang sengaja mencari. masalahnya temanku promosi abis, katanya versi Islami dari The Secret. Aku membelinya karena 2 alasan. Pertama, mencari jawaban dari pertanyaan yang tersisa setelah membaca The Secret: manusia lama-lama bisa merasa dirinya Tuhan! Kedua: karena aku mau mengajukan proposal besar pada Allah, dan aku mau cari referensi selengkap mungkin.


Bedanya, The Secret mengadalkan kekuatan Positive Thinking (Berpusat di otak), sedang Quantum Ikhlas menitikberatkan di Positive Feeling (berpusat di jantung). Pastinya, bukan sepenuhnya kekuatan pribadi. Keajaiban dapat diciptakan dengan kekuatan Positive Feeling bersekongkol dengan kekuasaan Tuhan. Ujung-ujungnya harus tetap menyerahkan keputusan akhir padaNya. Dia adalah Maha Menepati Janji, dan Dia berjanji untuk mengabulkan doa setiap hambaNya yang meminta.


Setelah pertanyaan pertama terjawab, tinggal masalah proposal. Di buku ini bukan hanya ada petunjuk teknis pengajuan proposal padaNya, tapi juga alatnya. Ada CD untuk mengeset gelombang otak, biar mudah menuju khusyu'. Aku tentu saja mencobanya. Rumusnya sama koq dengan The Secret: meminta, percaya, menerima.


Terus, buat apa aku nulis di sini tentang ini? Bersekongkol dengan semesta. Siapapun anda yang nyasar buka blog ini, mohon dengan sangat doanya, agar proposalku dikabulkan oleh Allah. Plisss.... Berdoa masih gratis koq sampai sekarang. Untuk siapapun anda yang mendoakanku, semoga Allah mengabulkan doa-doamu.......
Amiiiiin..............

Jumat, 01 Februari 2008

Masjid Darussalam Purbalingga


Kasta

Sebut aku sosialis juga nggak papa. Tapi aku jengah dengan stratifikasi sosial. Suatu keadaan di mana apa pun yang kita lakukan tidak akan pernah dinilai sama dengan yang orang lain lakukan, karena batasan yang dibuat manusia. Sebut saja kasta, derajat, tingkatan, atau apapunlah! Semaksimal apa pun, wong sudah dari sononya beda ya nggak bakalan sederajat.


Bahasa iblisnya: " Aku terbuat dari api, sedang manusia dari tanah. Maka sampai kapan pun derajatku lebih tinggi". Bahasa manusianya:" Aku keturunan bangsawan, kamu bukan maka....."
"Aku lebih senior dari kamu maka...." ; "Aku lebih segalanya dari kamu maka...."
Perbedaan adalah sunnatullah. Tapi yang Islam akui adalah diferensiasi sosial, bukan stratifikasi. Perbedaan potensi dasar manusia yang menyebabkan segala sesuatu mesti diserahkan kepada ahlinya. Bahkan ketika seorang petani kurma bertanya tentang persilangan kurma, jawab Rasulullah adalah: "Kau lebih tahu tentang bidang keahlianmu"


Bahwa ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang cantik ada yang pas-pasan, ada yang jenius dan ada yang idiot, itu sunatullah. Tapi tidak lantas apresiasi kita terhadap karya masing-masing di bidangnya masing-masing jadi berat sebelah, kan?


Bahwa ada yang membayar tenaga orang lain untuk pekerjaannya, ada yang jadi komandan perang dan ada yang jadi prajurit, itu juga hukum alam. Tapi sepenuhnya kekuasaan, kepemimpinan, kekayaan, adalah di bawah kekuasaan Allah. Dia bisa mempergilirkan kapan saja menurut kehendakNya. Maka tidak ada seorang makhluk pun yang berhak merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, dengan alasan apa pun.
Satu-satunya stratifikasi dalam Islam adalah berdasar ketakwaannya. Tapi parameter ini adalah sepenuhnya hak prerogratif Allah. Tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya lebih takwa atau lebih dekat dengan Allah. Sebab Allah berkata pada setiap orang dengan ungkapan yang sama: "Aku lebih dekat dari urat nadimu sendiri"


Bahwa ada Qiyadah yang harus ditaati dan ada Jundi yang wajib mentaati, hanya selama dalam kerangka sistem kejamaahan. Ketaatan akan gugur jika bertentangan dengan hukum syara'. Pun, tidak ada yang dapat menjamin sholatnya sang komandan lebih khusyu' daripada prajuritnya.


Maka sejak detik pertama aku memilih Islam sebagai jalan hidup, sejak itu aku merdeka. Menolak untuk dikotakkan dalam tingkatan buatan manusia. Menolak untuk mempedulikan penilaian manusia. Melangkah, bernafas, bekerja, apa saja.........biar Allah saja yang menilainya.


Biar saja di mata manusia aku selamanya Sudra, tak diapresiasi semestinya, dipandang sebelah mata. Asalkan tempatku VIP di sisiNya, akan kupertukarkan segalanya.


Sebab Allah telah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka, dengan surga sebagai bayarannya. Siapakah yang Maha Menepati janji selain Allah?
Wallahu a'lam bishawwab...