Jumat, 01 Februari 2008

Kasta

Sebut aku sosialis juga nggak papa. Tapi aku jengah dengan stratifikasi sosial. Suatu keadaan di mana apa pun yang kita lakukan tidak akan pernah dinilai sama dengan yang orang lain lakukan, karena batasan yang dibuat manusia. Sebut saja kasta, derajat, tingkatan, atau apapunlah! Semaksimal apa pun, wong sudah dari sononya beda ya nggak bakalan sederajat.


Bahasa iblisnya: " Aku terbuat dari api, sedang manusia dari tanah. Maka sampai kapan pun derajatku lebih tinggi". Bahasa manusianya:" Aku keturunan bangsawan, kamu bukan maka....."
"Aku lebih senior dari kamu maka...." ; "Aku lebih segalanya dari kamu maka...."
Perbedaan adalah sunnatullah. Tapi yang Islam akui adalah diferensiasi sosial, bukan stratifikasi. Perbedaan potensi dasar manusia yang menyebabkan segala sesuatu mesti diserahkan kepada ahlinya. Bahkan ketika seorang petani kurma bertanya tentang persilangan kurma, jawab Rasulullah adalah: "Kau lebih tahu tentang bidang keahlianmu"


Bahwa ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang cantik ada yang pas-pasan, ada yang jenius dan ada yang idiot, itu sunatullah. Tapi tidak lantas apresiasi kita terhadap karya masing-masing di bidangnya masing-masing jadi berat sebelah, kan?


Bahwa ada yang membayar tenaga orang lain untuk pekerjaannya, ada yang jadi komandan perang dan ada yang jadi prajurit, itu juga hukum alam. Tapi sepenuhnya kekuasaan, kepemimpinan, kekayaan, adalah di bawah kekuasaan Allah. Dia bisa mempergilirkan kapan saja menurut kehendakNya. Maka tidak ada seorang makhluk pun yang berhak merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, dengan alasan apa pun.
Satu-satunya stratifikasi dalam Islam adalah berdasar ketakwaannya. Tapi parameter ini adalah sepenuhnya hak prerogratif Allah. Tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya lebih takwa atau lebih dekat dengan Allah. Sebab Allah berkata pada setiap orang dengan ungkapan yang sama: "Aku lebih dekat dari urat nadimu sendiri"


Bahwa ada Qiyadah yang harus ditaati dan ada Jundi yang wajib mentaati, hanya selama dalam kerangka sistem kejamaahan. Ketaatan akan gugur jika bertentangan dengan hukum syara'. Pun, tidak ada yang dapat menjamin sholatnya sang komandan lebih khusyu' daripada prajuritnya.


Maka sejak detik pertama aku memilih Islam sebagai jalan hidup, sejak itu aku merdeka. Menolak untuk dikotakkan dalam tingkatan buatan manusia. Menolak untuk mempedulikan penilaian manusia. Melangkah, bernafas, bekerja, apa saja.........biar Allah saja yang menilainya.


Biar saja di mata manusia aku selamanya Sudra, tak diapresiasi semestinya, dipandang sebelah mata. Asalkan tempatku VIP di sisiNya, akan kupertukarkan segalanya.


Sebab Allah telah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka, dengan surga sebagai bayarannya. Siapakah yang Maha Menepati janji selain Allah?
Wallahu a'lam bishawwab...

Tidak ada komentar: